Sempat getir tidak mendapatkan tiket ... beruntung saya mendapatkan kursi waiting list yang konon pemiliknya tak kunjung datang sampai detik akhir pertunjukan dimulai.
Sempat membaca beberapa artikel dan informasi di beberapa media on line serta berita mulut ke mulut dari teman-teman mengenai kelompok teater ini membuat saya merasa penasaran, tapi baru kali saya berkesempatan untuk menyaksikan langsung pertunjukan mereka di Bandung.
Papermoon puppet theater adalah sekelompok muda-mudi dari kota Jogja berada dibalik semua ini.
Menggabungkan pendekatan artistik seni rupa dengan pementasan teater boneka penuh bahasa gesture yang atraktif. Musik kontemporer yang digarap dengan apik, dari epic, ambience sampai beat-beat trip hop mampu menggiring rasa dan mengaduk emosi para penonton. Juga suguhan latar visual berukuran besar yang tidak sekedar menjadi backdrop tetapi juga turut bertutur. Di ruangan yang hanya dibatasi sekitar kurang dari 100 orang penonton, pertunjukan teater ini begitu cair, tidak ada batasan 'panggung', para boneka (puppet) dan pemain boneka (puppeteers) berada dekat dengan baris penonton paling depan, mengundang kita untuk masuk ke dalam dunia "Mwathirika".
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat adalah ketika adegan time lapse yang menggambarkan Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia foto dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh video latar, permainan tata cahaya dan ilustrasi musik yang melankolis membawa saya seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Segar ... itu kesan saya, menghibur namun tidak enteng dalam konotasi yang positif tentunya. Saya seakan-akan diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, tata artistik yang cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah bilik Baba berubah menyerupai bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanik seperti pabrik, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak.
Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas diberikan. Nampaknya saya akan menunggu kunjungan mereka kembali dikota Bandung.
Diambil dari bahasa Swahili, suku dari Afrika timur, Mwathirika memiliki arti kata korban. Berseting tahun 1965, cerita ini bertutur tentang kehidupan sebuah keluarga tanpa sosok ibu, yaitu Ayah (Baba) dan dua orang anak (Tupu dan Moyo). Diseberang dimana mereka tinggal terdapat sebuah rumah yang dihuni oleh sosok ayah (Haki) dan anak perempuan semata wayangnya bernama Lacuna. Kehidupan dua bertetangga ini baik-baik saja sampai terjadi eskalasi politik ditingkatan elite penguasa yang menyebabkan keluarga Baba (tanpa mereka ketahui) harus menanggung akibatnya. Membawa kita kepada retrospeksi sejarah masa lalu negeri ini yang pernah mempunyai lembaran kelam.
Moyo, Tupu dan Lacuna |
Tanpa dialog, dipandu oleh gerak lincah bahasa tubuh dan isyarat tangan dari para boneka, sesekali bunyi panggilan nama, menarik konsentrasi penonton untuk mengikuti alur cerita, sangat sulit untuk tidak fokus pada apa yang terjadi di 'panggung'. Yang paling sangat saya ingat adalah ketika adegan time lapse yang menggambarkan Moyo dan Tupu dari malam ke malam, hari ke hari dan waktu ke waktu menunggu sosok sang ayah (Baba) yang tidak kunjung kembali ke rumah setelah 'dijemput' oleh tentara-tentara berwajah burung nazar. Time lapse yang umum digunakan di dunia foto dan sinematografi ini begitu subtil dan renyah diterjemahkan kedalam lakon boneka, ditunjang oleh video latar, permainan tata cahaya dan ilustrasi musik yang melankolis membawa saya seolah-olah ikut merasakan perjalanan waktu penuh penantian dan ketidakjelasan.
Segar ... itu kesan saya, menghibur namun tidak enteng dalam konotasi yang positif tentunya. Saya seakan-akan diajak untuk terus menerus ingin tahu kejutan apa yang akan terjadi pada setiap adegannya. Tanpa dipenuhi properti-properti yang extravaganza, tata artistik yang cermat mengakali ruang, sehingga tanpa narasi pun, perpindahan setting dari adegan ke adegan akan mudah dikenali. Hanya satu yang mengganjal di penghujung cerita, mengapa rumah bilik Baba berubah menyerupai bangunan penuh dengan lambang-lambang mekanik seperti pabrik, kemudian adegan didalam rumah/bangunan tersebut para tentara berwajah burung nazar bergerak seperti mesin, membubuhkan 'topi segitiga merah' pada boneka-boneka dari dalam kotak.
Ditutup oleh tepuk tangan meriah dan standing applaus dari penonton, decak kagum atas kreatifitas dan eksekusi teater boneka ini memang pantas diberikan. Nampaknya saya akan menunggu kunjungan mereka kembali dikota Bandung.
No comments:
Post a Comment